Mata Kosong Mei
Dia bukan pengingat yang baik. banyak hal-hal baik yang
terjadi dalam hidupnya dan bisa begitu mudah dilupakan bahkan hanya dalam
hitungan jam. Belum lagi percakapan sederhana yang terjadi antara ia dan
kawannya di warung kopi, sesimpel itu dan ia bisa lupa sepersekian detik
setelah diperbincangkan. Bahkan Mei sendiri mengkhawatirkan kejiwaannya, sejak
kapan kiranya fokusnya tidak terkontrol sedemikian rupa, mengapa ia bisa
berbalas kalimat dengan orang di hadapannya tapi pandangan matanya kosong tak
ada isi, pikirannya melanglang buana entah ke mana, ke siapa.
Kini ia mencoba meraba-raba hal buruk apa yang telah
terjadi di masa ia kecil. Beruntungnya atau celakanya, untuk kenangan
menyakitkan, ia justru tak mudah lupa. Dan di sanalah fokusnya tertuju, pada
peristiwa sederhana hingga luar biasa yang terus saja menghantui kapan pun ia
mencoba bersikap normal. Dirman masih mengutarakan lelucon basi di hadapannya
tentang minuman apa yang sangat perhatian ketika ia berhasil mengingat detail kekerasan
yang pernah dialaminya di waktu kanak. Hanya sebuah pukulan ranting kayu gamal
di kedua betis yang sempat diambil ibunya saat menyusul ia yang tengah asyik
bermain pada sungai kecil di kampung. Saat itu bedug magrib sudah ditabuh tapi
Mei bersama kawannya masih begitu asyik menikmati mencari kepiting kecil yang
keluar masuk pada permukaan tanah liat dengan air sungai yang jernih namun
berubah keruh berkat kaki para anak-anak yang menyipak sungai.
Mei menangis bukan karena pukulan yang mendarat di betis
mungilnya, itu sama sekali tak berasa apalagi setelah itu ia lantas dimandikan
dengan penuh manja oleh sang ibu. Mei hanya masih ingin bermain, mengapa segala
setan dibawa-bawa untuk membuatnya berhenti bersenang-senang, kenapa waktu
magrib ibunya selalu meminta ia masuk rumah karena setan sedang berkeliaran,
padahal ia tidak sebegitu takut pada setan.
Pikirannya berhenti di sana. Setelah direnungkan, tak ada
lagi yang dilakukan orang terdekatnya yang mampu melukai ia sedemikian dalam.
Tentu saja ia tidak mengalami masa sulit yang berarti di lingkungannya, ia
tidak menerima itu, tapi ia yang memberi itu. Pernah ia mengecewakan kedua
orangtuanya karena kabur dari pesantren dan tidak ingin lagi kembali ke sana
sekuat apapun ia dibujuk. Itu adalah salah satu penyesalan terbesarnya setelah
dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan sang ayah, uban yang mulai tumbuh,
kerutan pada wajah, sorot mata putus asa yang tiba-tiba meneteskan bulir-bulir
kekecewaan, pada titik itu Mei seketika merasa lemas. Ia tidak tahu kesakitan
seperti apa yang dialami sang tulang punggung keluarga, yang bisa dijaminnya
adalah, rasa sakit yang disaksikannya itu belum seberapa dibanding luka yang
dialaminya setelah menyakiti orang yang paling tidak layak disakitinya.
“Hei, kamu belum menjawab pertanyaanku, loh.” Dirman
mengangkat tangan, mengayunkan tepat di depan wajah Mei yang terlihat bingung
setelah tersadar dari pikirannya yang jauh melangkah ke belakang.
“Oh soal apa? Tadi kamu memberiku pertanyaan?”
“Ah lupakan saja, kamu sedang tidak asyik
diajak bercanda.”
Seperti sebuah pukulan. Padahal Dirman tidak bermaksud
apa-apa dengan kalimat terakhirnya dan Mei juga memahami itu. Tapi dasar
pikirannya yang sulit dikontrol, ia justru terbebani, wajah kecewa Dirman
beserta kalimat yang diucapkannya seperti hantu yang mengikutinya hingga
beberapa waktu kemudian. Ah sial, padahal aku tidak takut hantu.
Terlalu buang-buang waktu untuk merasa takut
pada hantu yang lebih sering abai pada sikap manusia daripada turut campur
hadir di ruang-ruang gelap kamar kosan menjelang tidur. Nyatanya yang lebih
menakutkan, yang paling sering menghantuinya adalah kecemasan pribadi.
Akhir-akhir ini tidurnya bahkan tak teratur, tak lama, dan tak juga berkualitas
pasca diputuskan oleh orang yang begitu dikasihinya. Sampai sekarang hatinya
masih tak karuan setiap kali mendapati sesuatu yang menggiring ingatannya pada
mantan kekasih yang dulu dianggapnya baik tapi pada akhirnya biadab juga. Dan
inilah luka terdalam yang diperolehnya
semasa hidup, pengalaman paling perih yang tidak terbayangkan akan benar-benar
terjadi. Menyesal ia tak melatih diri sedari kecil merasakan terluka agar saat
ini semestinya ia telah terlatih menghadapinya.
Kini fokusnya benar-benar
hilang, pikirannya sedang kacau, hatinya awut-awutan. Terlalu sederhana jika
hanya membandingkannya dengan gulungan benang. Mungkin seperti rambut panjang
perempuan yang bertumpuk di corong pipa kamar mandi, sudah terlalu kusut dan
tidak memungkinkan diurai. Hanya akan menyisakan rambut-rambut yang patah tak
beraturan.
“Apa yang sebenarnya
sangat kau sesali? Toh hanya tiga bulan dan kau juga tahu dia ternyata hanya
tukang selingkuh tak berpengalaman.”
Mei kembali menemui
Dirman, seorang lelaki sebayanya, kawan ngopinya yang jauh lebih bijak tentang
apapun.
“Justru karena itu, karena
dia ternyata sebajingan itu, aku menyesal pernah bahagia merasa dicintainya.
Atau aku sedang kecewa pada diriku sendiri, hah?” kini sorot mata Mei tepat menatap
kedua mata Dirman, seperti berusaha mencari jawaban, berharap mendapati
tanggapan menyejukkan hati. Tapi kali ini Dirman tak memberi jawaban, bahkan
sikap diamnya sudah sangat menjelaskan. Pada posisi ini kau memang terlihat
menyedihkan, Mei. Bukan karena kau telah berhasil dibohonginya, tapi aku
menangkap ada binar yang tak dapat kau sembunyikan di sudut matamu. Dalam hati
kecilmu kau masih sangat mencintainya. Mengapa tak membuang saja perasaan itu
sekarang?
“Pinjam bahumu.”
Di sanalah kepala Mei
direbahkan pada sebuah bahu bidang yang tabah menyangga. Tidak perlu beberapa
menit untuk Mei menghilang bersama segala kecamuk yang ada di kepalanya.
Pandangan mata kosong itu nyata ada di sana, nanar menyorot segala luka masa lalu
yang menyiksanya tak kenal tempat, membuatnya sekuat tenaga menahan sesak di
dada. Tapi bendungan itu sudah terlalu lama berpura tegar dan di bahu seorang lelaki
yang tengah asyik mengisap rokok, tak lagi terhitung berapa tetes airmata
meruah di sana.
“Kau butuh tangan untuk
mengusap?”
Pada akhirnya Dirman kehilangan
sikap bijaknya, mengapa masih memilih tawarkan tangan ketika ia bisa saja langsung
melakukan itu?
Komentar