Indo
Hampir pukul
dua dini hari, beberapa panggilan susul-menyusul, kukira hanya alarm hp,
ternyata panggilan telepon dari rumah.
"Indo meninggal dunia baru saja."
Kemudian kami
diam, kosong sekali rasanya.
***
Kami
memanggilnya Indo.
Aku banyak
menghabiskan masa kecilku di rumah Indo.
Rumah kami bersebelahan, di sisi timur adalah rumahku dan rumah Indo terletak
di bagian selatannya.
Ketika aku
masih berusia entah delapan atau bahkan lebih muda dari itu, aku sangat sering
menyengaja datang ke rumah Indo di hari senin, sangat menyenangkan melihat Indo
baru saja pulang dari pasar, membawa begitu banyak barang belanjaan untuk
dijual kembali, aku terhibur melihat banyak karoppo
berhadiah yang akan dijual.
Pada
usia-usia itu aku juga sangat mengingat bagaimana kami para cucunya senang
sekali menghabiskan waktu di rumah Indo. Kami sering sekali makan di sana, menu
makanan kesukaan kami adalah telur dadar, lauk yang biasanya kami makan
berempat pun pasti tetap cukup. Aku tidak tahu apa rahasianya sehingga sebutir
telur bisa sangat cukup kami makan bersama. Yang aku tahu, telur dadar Indo terlalu asin tapi enak. Kami tidak
pernah protes mengapa buatannya selalu asin, sebab bagi kami asin pun masih
saja nikmat.
Kegiatanku
setiap kali pulang sekolah, setidaknya hingga aku duduk di bangku kelas tiga
sekolah dasar, seusai makan siang atau bahkan kadang tidak makan siang, aku
pasti selalu ke rumah Indo,
menyambung bacaan qur'an besarku beberapa halaman, baru kemudian boleh pergi
bermain.
Entah pada
masa itu uang seratus rupiah setara berapa ribu di masa sekarang, yang aku ingat,
selalu menyenangkan ketika Indo meminta
ubannya untuk dicabut. Dia selalu menghargai sepuluh lembar ubannya yang telah
kucabut senilai seratus rupiah. Aku selalu berusaha mencabut hingga lima puluh
lembar uban agar bisa mendapat jatah sebesar lima ratus rupiah. Itu dulu ketika
uban Indo masih jarang-jarang, belum
menguasai seluruh kepalanya.
Aku memang tidak
lama melihat Indo perlahan semakin menua, ubannya yang dulu hanya satu-satu
berubah menjadi begitu ramai, pertanda kerentaan mulai mengakrabi.
Tahun 2006
ketika lulus dari sekolah dasar, ibu mengantarku ke sekolah asrama di ibu kota
kabupaten, di sana aku bersekolah selama enam tahun. Dalam kurun waktu itu aku
hanya pulang per tiga bulan sekali. Di waktu-waktu itulah aku menyempatkan
bercengkerama dengan Indo, walau
tetap saja tak pernah bisa membayar begitu banyak waktu yang kulewatkan jauh
darinya.
Jika ditanya
apa kejadian yang paling kuingat ketika bersama Indo? Sepertinya aku akan menjawab pengalamanku digigit lipan.
Saat itu aku
kelas empat sekolah dasar, usiaku kira-kira sepuluh tahun, aku menginap di
rumah Indo, tidur bersama Indo di kamarnya ketika dini hari
tiba-tiba sesuatu seperti mencubit lututku. Aku berpikir itu kepiting, karena
beberapa malam sebelumnya Ambo juga habis dicapit kepiting. Maka malam itu
pastilah hewan yang sama. Aku menghempaskan hewan yang kukira kepiting itu
setelah berusaha mengeluarkannya dari dalam celana panjang jeansku. kukira
sudah berakhir, namun beberapa menit kemudian hewan yang kukira kepiting itu
kembali datang, merangsek masuk ke dalam celanaku dan seketika menggigit alat
vitalku. Aku masih percaya itu kepiting ketika berteriak kesakitan dan membuat Indo yang lelaps di sebelahku akhirnya
terbangun.
Indo sigap mengambil senter yang selalu berada di samping bantalnya,
membantuku melepas celana, dan akhirnya menyaksikan dengan jelas seekor lipan
sebesar kelingking bayi sedang terjepit di celana dalamku. Lipan yang malang,
terengah-engah sesak napas terjepit celana ketatku.
Aku menangis
ketika itu, indo berusaha menenangkan dan membangunkan orang rumah, aku tidak
sempat melihat ekspresinya karena terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Aku
membayangkan Indo saat itu ingin
tertawa tapi terpaksa menahannya, tidak ingin cucunya semakin menangis. Tapi jika
kupikir-pikir, bukan salah Indo bila
memang ia memilih tertawa, kejadian yang menimpaku memang cukup naas, tapi unsur
komedinya juga sangat dapat. Seorang anak kecil digigit hewan yang dikiranya kepiting tepat di alat vitalnya.
Tahun 2012
ketika lulus sekolah menengah atas di ibu kota kabupaten, aku ternyata pergi
semakin jauh, melanjutkan kuliah di provinsi seberang. Aku hanya bisa
menjangkau Indo melalui telepon, itu
pun tak pernah berbicara langsung dengannya, kabar tentang kesehatannya hanya
kudapatkan dari keluarga.
Setelah
menggapai gelar sarjana ternyata pergiku bahkan semakin jauh lagi, butuh satu
atau dua tahun baru bisa kembali berjumpa Indo.
Dalam masa yang panjang itu, aku hanya bisa melihat Indo melalui gambar yang dikirim melalui pesan whatsapp. Indo tentu tidak tahu ternyata potret
wajahnya bisa melintas ke pulau seberang dalam sekejap.
Aku rindu Indo. Aku rindu menyaksikan dia sedang
duduk di teras rumah, dengan kopi di atas meja dan tembakau hasil lintingan, ia
terlihat begitu menikmati hidupnya. Ah iya, dulu di belakang rumah Indo, di
antara pepohonan coklat miliknya, terdapat beberapa pohon kopi. Aku masih ingat
pernah beberapa kali menemanimanya memetik biji kopi yang akan diolahnya
sendiri menjadi bubuk kopi siap seduh.
***
Menjelang
pukul dua belas siang waktu indonesia tengah ketika sepupuku melakukan panggilan
video. Ketika telah tersambung, tidak ada kata yang terucap. Aku hanya diam dan
menyaksikan Indo dikuburkan, terlihat
beberapa keluarga ikut hadir, terisak melepaskan kepergian Indo.
Sampai jumpa
di lain tempat, Indo.
Komentar