Sebuah Ulasan Dari Perempuan yang Belum Bertemu Jodohnya
Judul :
Jodohku Hafal al-Qur’an
Penulis :
Rizki Ayu Amaliah
Penerbit :
PT Elex Media Komputindo
Cetakan :
Pertama, 2018
Tebal :
144
ISBN :
978-602-04-5391-0
Buku yang selesai saya baca dalam dua kali duduk ini terasa begitu polos. Anak
pertama yang lugu dan menggemaskan, jika memang harus mengungkapkannya dalam
pendapat yang singkat. Demikianlah pendapat saya atas buku ini. Buku yang ditulis
oleh seseorang yang saya kenal sejak tahun 2012 lalu, saat resmi diterima di
program khusus jurusan Tafsir Hadis di UIN Alauddin Makassar. Saat itu, Rizki
telah menulis dan menerbitkan sebuah buku kumpulan cerita pendek yang mendapat
sambutan baik dari para pembaca. Buku pertama yang sukses menarik perhatian
apalagi saat itu ditulis oleh mahasiswa yang baru memasuki semester tiga pada
jurusan yang tidak ada kaitannya dengan sastra. Jurusan Tafsir Hadis boleh
dikata para penuntutnya lebih layak menjadi seorang penafsir. Tapi tentu saja
siapa pun boleh menulis sesuai minatnya tanpa perlu sesuai dengan jurusan yang
diambil. Dalam hal ini saya ingin mengatakan bahwa jurusan tidak sebaiknya
dijadikan ikatan atas minat seseorang pada hal lain. Tentu saja hal ini saya
katakan mengingat seringnya mendengar cibiran dan ketidaksukaan beberapa pihak
pada saya dan teman-teman di jurusan Tafsir Hadis yang ikut bergelut pada
sebuah organisasi kepenulisan kala itu.
Sebelum melanjutkan membaca tulisan ini, ingin saya tegaskan pada kalian
yang mengidolakan Rizki, bahwa jika kalian benar-benar mencintainya, maka
silakan lanjut membaca ulasan ini. Namun jika cintamu pada Rizki ternyata
bersyarat, berhentilah sejak membaca bagian ini. Sebab barangkali kau hanya
akan ingin membaca hal-hal baik berkaitan dengannya dan cenderung menutup mata
pada beberapa bagian yang kau dapati mengkritik meski tak ada niat untuk
menjatuhkan. Bagaimanapun juga, saya belum siap dijadikan bulan-bulanan kalian
atas apa yang akan saya tuliskan berikutnya.
Jujur saja, awalnya tidak ada rencana untuk mengulas buku ini. Usai membacanya
saya langsung meletakkannya di rak, di jajaran buku yang sudah selesai saya
baca di bulan februari. Bukan hanya buku ini yang tidak berencana saya ulas,
ada beberapa buku lain yang juga mengalami hal sama dengan alasan yang berbeda.
Adapun alasan mengapa buku ini tidak berencana saya ulas disebabkan posisi saya
yang mengenal penulisnya dengan baik. Ada perasaan dilema dalam hati saya. Ketakutan
tidak objektif dalam memberi ulasan mengingat Rizki adalah teman saya, maka ada
kemungkinan saya memberikan ulasan yang cenderung memuji terlalu tinggi dan
akan memberikan ekspektasi yang sangat bagi para pembaca dan juga akan membuat
Rizki begitu cepat merasa puas diri dalam tulisannya—dan ini bukan hal yang
baik bagi karir penulis. Di sisi lain, ketika mendapati beberapa kekurangan
dalam buku ini, jika mengulasnya begitu gamblang, barangkali beberapa orang
yang membacanya akan mengutuk saya dan mencemooh habis-habisan karena terkesan
sok tahu dan tidak menghargai karya orang lain. Dan pada bagian ini, ada
ketakutan dalam diri saya jika Rizki sebagai penulis buku ini juga akan
menganggap saya terlalu kejam. Saya benar-benar dilema dan berada pada perenungan
panjang hingga suatu hari, atau kurang lebih dua minggu lalu saya membaca ulasan
Daruz Armedian tentang karya Reza Nufa yang berjudul Pacaraku Memintaku
Menjadi Matahari. Daruz adalah teman Reza, teman akrab yang bergelut pada
dunia yang sama, pecinta sastra, pembaca dan juga penulis. Dalam ulasan Daruz
terhadap karya Reza, tak sedikit pun dapat ditemui puji-pujian di sana. Padahal
menurut komentar Pak Edi pada ulasan Daruz yang dibagikan langsung oleh Reza di
linimasa facebook-nya itu, buku itu diberikan cuma-cuma oleh Reza
kepadanya. Namun buku yang didapatkannya secara gratis itu malah diolok-oloknya
dalam sebuah ulasan yang sangat menarik dan akan membuatmu menggerutu. Dari pembacaan
itu kemudian saya berniat untuk membuat ulasan yang sebebas Daruz dengan
melepaskan diri dari beban dan ketakutan-ketakutan yang tidak perlu. Justru
karena saya merasa dekat dengan penulis, bukankah selayaknya saya mengungkapkan
pandangan secara jujur? Seorang penulis puisi, alumni universitas di Mesir dan
karyanya yang berjudul Kasmaran telah diterbitkan oleh Diva Press, suatu
hari hasil terjemahannya atas karya Nizar Qabbani yang berjudul Surat Dari
Bawah Air mendapatkan ulasan yang
kritis dari seorang pembaca bernama Fazabinal Alim—seorang penerjemah dan
Kritikus Satra Arab—yang mana tulisan itu dikirim untuk dimuat di website
basabasi.co. Dari hasil pembacaan ini saya mendapati kelapangan dan kebesaran
hati Usman Arrumy sebagai penulis dalam menerima kritik yang diyakininya akan
sangat bermanfaat bagi karya-karyanya selanjutnya.
Bagaimana Menentukan Sumber Kebahagiaan?
“Orangtua mana yang tak bangga tatkala nama anaknya
disebut sebagai hafiz atau hafizah. Lelaki atau wanita mana yang tak
mengidamkan seorang penghafal al-Qur’an, yang bukan hanya menjanjikan
kebahagiaan di dunia tapi insya Allah di akhirat?”
Dalam sinopsis yang terdapat pada sampul belakang buku ini dibuka dengan
kalimat di atas. Sebuah paragraf pendek yang ditutup dengan tanda tanya. Apa maksud
dari kalimat yang barangkali dianggap sakti bagi penulis dan juga penerbit—saya
menggunakan kata penerbit sebab tak mendapati nama editor di buku ini—sehingga
menjadikannya sinopsis sebagai penggambaran atas kandungan buku? Bagi saya
kalimat tersebut tidak menarik dan terlihat seperti sebuah klaim dan kebanggaan
pribadi bagi penulis. Seolah puncak dari kebanggaan bagi orangtua di dunia
adalah mendapati anaknya mampu menghafalkan al-Qur’an. Lalu di mana letak
anak-anak yang tidak menghafal al-Qur’an itu? Tidakkah mereka pantas memperoleh
kebanggaan dari orangtua mereka yang setara atau lebih besar dari kebanggaan
yang diperoleh oleh para penghafal al-Qur’an? Lalu berada di posisi mana
penulis buku ini jika hendak mengukur kebanggaan orangtuanya dari hafalan
al-Qur’an yang dimiliki? Dalam pembacaan ini saya mendapati diri ini ciut dan
tak bernyali sama sekali menyadari tak satu pun anggota keluarga yang hafal qur’an
hingga rasanya tak berhak menuntut rasa bangga orangtua pada segala hal yang
telah dicapai hingga kini.
Dan benarkah setiap lelaki dan wanita mengidamkan pasangan yang hafal Qur’an?
Tentu saja tidak. Dan memang kenyataannya tidak. Saya pribadi lebih
bercita-cita memiliki suami yang berpendidikan meski tak hafal Qur’an, punya
pendirian dan tidak banyak omong pada sesuatu yang tidak bermanfaat. Saya pernah
dan barangkali masih mencintai seorang yang tak hafal al-Qur’an kecuali
beberapa surah pendek, namun bagi saya itu cukup. Saya tidak menargetkan
pasangan yang harus hafal al-Qur’an demi kebahagiaan di dunia maupun di
akhirat. Adakah yang bisa menjamin surga atas dirinya, adakah yang bisa
menjamin surga atas orang lain? Sudah cukup kita dikagetkan oleh seorang
penghafal Qur’an yang menikah muda dan tiba-tiba bercerai di usia pernikahan
yang juga masih sangat muda. Maka hafalan bukan sebuah jaminan.
Lalu bagaimana mengukur kebahagiaan, bagaimana menentukan sumber
kebahagiaan? Tentu saja setiap orang memiliki pendapat yang berbeda dalam hal
ini. Adakah hafalan dari pasangan bisa menjamin kebahagiaan dalam berumah
tangga? Saya tidak tahu. Lagi pula, bagaimana kita menjamin kebaikan seseorang
hanya dengan hafalan yang dimilikinya, apakah semua penghafal Qur’an adalah
orang yang berakhlak baik? Seharusnya demikian meski kenyataannya tidak begitu menurut
pengalaman pribadi saya.
Maka bagi saya, meski tulisan dalam buku ini berdasarkan pengalaman pribadi
penulis, sinopsis yang terkesan subjektif itu tak sebaiknya digunakan. Sebab
men-generalisir sesuatu berdasarkan pengalaman pribadi adalah salah satu
keputusan yang keliru.
Agar Iri Secara benar
“Akhlakmu sopan, tuturmu santun
Salat dan puasamu rutin
Hafalanmu mendapat keberkahan
Wahai penghafal Qur’an ...
Engkau adalah orang yang layak mendapat iri
secara benar”
(RAA)
Puisi di atas—jika penulis menganggapnya sebagai puisi—mengandung pengkultusan
terhadap penghafal Qur’an. Saya melihat kehendak penulis untuk memposisikan
penghafal Qur’an sebagai hamba terbaik Allah. Dan semoga ini keliru. Lagi-lagi
hafalan Qur’an seseorang dijadikannya jaminan. Jika hanya penghafal Qur’an yang
berakhlak sopan, bertutur santun serta salat dan puasa dengan rutinlah yang
berhak mendapat iri secara benar, maka kita sama sekali tidak memiliki apa-apa,
tidak berkesempatan untuk menginspirasi orang-orang di sekitar. Tidak benarkah
bila orang lain merasa iri dengan kemampuan berargumen yang dimiliki,
kedisiplinan dalam hidup atau pola hidup sehat yang diterapkan oleh orang-orang
tertentu? Padahal kita tahu, setiap orang yang kita temui memiliki hal unik
dalam dirinya yang tentu saja bisa dijadikan pelajaran.
Saya tentu paham maksud lain dari penulis sebenarnya bahwa menjadi seorang
penghafal bisa menambah berkah dalam hidup. Penghafal Qur’an yang benar-benar
mengamalkan hafalannya memang layak untuk memperoleh iri dari orang lain. Namun
selain mereka—para penghafal Qur’an, iri pada hal positif yang dimiliki dan
dilakukan oleh orang-orang sekitar juga sangat baik dan terpuji dan tentu saja
juga benar. Iri secara benar tidak selayaknya dibatasi hanya pada lingkup
penghafal Qur’an.
Yang Lugu, Kaku dan Polos
Satu hal yang konsisten dalam penulisan buku ini adalah adanya pemaparan
kisah dalam setiap bab yang disusun. Terhitung ada delapan tulisan yang diklaim
penulis sebagai kisah yang terdapat dalam enam bab yang ada. Disajikan dengan
cukup menarik meski terasa sedikit kaku. Barangkali karena semangat Rizki untuk
memaparkan secara rinci kondisi yang sedang dialami oleh tokoh tersebut
sehingga memaksanya untuk memasukkan beberapa kalimat yang seharusnya bisa
dibuang saja. Atau jika memang hendak memasukkannya, tata kalimatnya sebaiknya
diberi polesan lagi sehingga tidak terasa begitu polos saat dibaca. Ini berlaku
untuk tujuh kisah yang ada di dalam buku—dalam hal ini berarti kisah jatuh
cinta di surah Yusuf adalah satu-satunya pengecualian. Kisah yang terasa lebih
mengalir dan cukup menggetarkan. Meskipun demikian, keberadaan seluruh kisah ini
memiliki nilai lebih tersendiri.
Kekecewaan saya sebenarnya berada pada beberapa kisah yang dimasukkan dalam
buku ini yang juga pernah diunggah di akun media sosial penulis. Tidak ada yang
salah memuat ulang tulisan yang sudah pernah dibagikan di jagat maya. Namun hal
yang ingin saya gugat sebenarnya adalah tulisan-tulisan tersebut masih sama lugu,
polos dan kakunya saat dulu beredar di media sosial. Padahal itu sudah
terhitung lama dan seharusnya mengalami perbaikan seiring pembacaan dan
kemampuan penulis yang juga bertambah. Saya percaya Rizki mampu menuliskan
kalimat yang lebih puitis dan lihai pada kisah-kisah yang dimasukkannya dalam
buku tersebut. Tapi mengapa ia tidak melakukannya? Ada banyak kemungkinan
alasan atau justru tak ada satu pun alasan yang akan diberikannya.
Tulisan Butuh Editor
Ken Hanggara, seorang penulis dengan pabrik cerpen di kepalanya pernah menuliskan
sebuah status di akun media sosialnya tentang kebiasaannya mengecek siapa
editor dari sebuah buku yang dibacanya tiap kali mendapati banyak kesalahan
penulisan atau typo. Sama dengannya, saya pun melakukan hal yang sama. Kesal
rasanya mendapati buku yang diterbitkan oleh penerbit yang besar dan terkenal
namun typo ada di mana-mana. Ini adalah kali kedua mendapati buku dengan
jumlah kesalahan penulisan yang banyak dan ternyata di buku memang tidak ada
keterangan siapa editornya. Buku pertama juga berasal dari grup penerbitan yang
sama, ditulis duet dan masih menyisakan banyak typo. Buku yang ditulis
Rizki juga sama, letak tanda baca, kesalahan huruf yang tidak saya ingat lagi secara
sempurna berada di bagian mana masih begitu banyak. Sebagai satu contoh saja
bisa dilihat pada halaman 129. Di sana penulis mengetik nama Badiuzzaman Said
Nursi dengan Baiduzzaman. Huruf ‘i’ yang seharusnya berada setelah huruf ‘d’
justru diletakkannya sebelum ‘d’.
Saya selalu menyalahkan editor untuk buku-buku yang mengalami kesalahan
penulisan yang banyak, namun untuk buku yang tidak mencantumkan editor, atau
sengaja tidak mencantumkan namanya atau memang tidak ada editornya, saya harus
menyalahkan siapa? Sebagai pembaca yang menikmati buku dengan membelinya tanpa
menodong gratisan, bukankah saya berhak menuntut kesempurnaan? Kesempurnaan yang
saya maksud bukan tanpa typo, tapi sebisa mungkin jangan terlalu banyak agar
tidak terkesan sembrono.
Untuk ke depannya, saya dengan senang hati menantikan karya-karya Rizki
yang lebih lihai, lebih inspiratif, lebih menakjubkan. Saya yakin ia adalah
penulis yang tidak mudah menyerah untuk menantang dirinya sendiri dalam
menghasilkan tulisan yang lebih baik dari karya-karya sebelumnya. Sebagai seorang
ibu muda dengan satu anak balita yang imut, karya ini cukup membuktikan
kecintaannya pada kepenulisan dan juga sebuah pukulan keras bagi anak muda
seperti saya yang masih lajang dan memiliki lebih banyak waktu luang namun tak
menghasilkan karya apa pun untuk dibaca secara luas. Terima kasih atas
tamparannya, Kak. Ketcuuup untuk Uzair ....
Komentar