Alkudus; Sebaiknya Tidak Dibaca Saat Sedang Junub



Judul               : Alkudus
Penulis             : Asef Saeful Anwar
Penerbit           : Basabasi
Cetakan           : I, April 2017
Tebal               : 268 hlm
ISBN               : 978-602-61160-0-0

: ha ba sin ro ya
Alkudus adalah sebuah novel. Sebuah kitab suci bagi agama Kaib, sebuah buku yang bisa kau tafsirkan sendiri ayat per ayat, tema per tema atau bab per bab sesuai kemampuan imajinasimu, sesuai ketertarikanmu, sesuai pemahamanmu, tanpa perlu menunggu kapasitasmu sampai pada syarat-syarat menjadi seorang ahli tafsir yang tidak dipertanyakan lagi kesalehan dan kesuciannya. Walau di awal halaman sudah ditegaskan untuk terlebih dahulu menyucikan diri sebelum membaca kitab Alkudus. Syarat kesucian yang mengacu pada fisik dengan petunjuk bersuci yang diterangkan dalam bab 11 ayat 19-23. Namun kesucian batin, terbebas dari dosa-dosa dan fikiran menyimpang bukanlah tuntutan sebelum membaca dan mencoba menafsirkan kembali Alkudus.
“Basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu sampai lengan. Basahilah sebagian kepalamu. Usaplah kedua daun telingamu dan cucilah kakimu hingga betis. (Untuk semua itu) gunakanlah air bening yang mengalir. Tiupkan nama Tuhan di dalamnya ketika engkau mulai membasuh wajahmu.” (11: 19-23)

Sebuah Kitab Suci
Disusun selayaknya kitab suci, diberi nomor dan catatan-catatan kecil di bagian bawah, narasi yang disusun berdasarkan tema-tema dalam setiap bab, silsilah keturunan rasul dalam agama Kaib, adalah paket lengkap untuk mengatakan bahwa Alkudus adalah sebuah kitab suci. Argumen-argumen yang dihadirkan dapat membuat pembaca hanyut seperti sedang membaca terjemahan kitab suci. Isinya yang mendamaikan, menentramkan dan masuk di akal akan menambah kekhusyukan dalam mendalami setiap kisah yang dipaparkan. Saya pribadi sering mendapati diri ini senyum-senyum setiap kali tak sengaja mengangguk setelah merenungi setiap kalimat yang ditulis Asef. Saya seringkali lupa bahwa Alkudus adalah karangan seorang manusia dan justru seolah-olah meyakini bahwa terdapat kitab dan agama yang baru. Di sinilah letak keberhasilan Asef. Berangkat dari keinginan untuk menyajikan karya dalam bentuk kitab suci, menghadirkan tokoh-tokoh sebagaimana dalam kitab suci yang sebenarnya, rasul-rasul dan para pengikut dan pengingkarnya, adalah sebuah bentuk keseriusan dalam karyanya. Maka bukan lagi hal yang sulit untuk menemukan kutipan-kutipan bijak dalam Alkudus. Setiap kalimatnya mengandung kekuatan sebuah kitab suci yang mampu menenangkan hati pembacanya.
Sensitif Gender
Menjadikan Erelah sebagai tokoh utama, seorang perempuan yang diutus menjadi rasul bagi agama Kaib adalah poin utama yang hendak disampaikan Asef dalam karyanya. Pola pikir mengenai perempuan tidak berhak memegang posisi penting dan tidak pantas menjadi seorang pemimpin ingin dipatahkannya. Bahwa dalam agama Kaib dan dalam kenyataannya, perempuan bukanlah mahluk kedua yang harus dikesampingkan. Tertulis dalam bab empat mengenai keutamaan bagi manusia bukanlah jenis kelamin apa yang lebih dahulu diciptakan. Waha boleh saja diciptakan setelah Dama namun bukan berarti Dama yang seorang lelaki lebih mulia dari Waha yang seorang perempuan. Bahkan Waha tidak dikatakan tercipta dari tulang rusuk Dama melainkan dari tanah yang sama namun lebih matang dan likat disebab bumi telah bermusim. Asef sedang berusaha membungkam diskriminasi yang dialami perempuan sebab dikatakan tercipta dari tulang yang bengkok sehingga menjadi mahluk lemah. Perempuan sebagaimana lelaki tidak boleh dinilai dari jenis kelaminnya, sebab bagi Tuhan yang disampaikan kepada Erelah, hamba-Nya dinilai sebagai manusia tanpa harus dibedakan berdasar jenis kelamin.
Pada peristiwa Diris yang tidak memiliki anak menjadi bagian yang sangat saya sukai. Tak peduli bagaimana Diris dicemooh dan dihasut untuk mencari istri lagi, menikahi perempuan agar bisa memperoleh keturunan, Diris dirayu perempuan muda namun terus menolak dan justru semakin mendekap istrinya dalam pelukan. Bagian ini bagaikan bentakan yang keras kepada pelaku poligami, pemuja beristri lebih dari satu yang bahkan tanpa istrinya mandul justru gencar hendak menambah istri lagi meski istri pertama dalam keadaan sehat tanpa kurang satu apa pun.
“Tiada mungkin aku tak bersetia dan tak berteguh hati pada istri yang selalu menemani ibadatku. Bukankah sebaik-baik istri adalah yang mampu menjadi teman ibadat? Dan sebaik-baik suami adalah yang tidak memiliki keinginan berkhianat.” (8: 97-99)

            Di saat banyak orang mendukung poligami dengan berbagai alasan, memposisikan Asef yang seorang lelaki dan tegas menolak hal tersebut adalah sebuah keberanian yang juga sebuah bentuk pengakuan bahwa perempuan juga manusia ciptaan Tuhan yang tidak boleh diposisikan sebatas pilihan dengan keputusan berada di tangan lelaki. Perempuan bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan, dicarikan pengganti sesuka hati ketika mendapati suatu kekurangan padanya dan apalagi jika hanya sekadar keinginan untuk menambah jumlah sementara istri pertama dalam keadaan baik-baik saja.
“Sejak itu para lelaki Kaum Irat bahagia dan tak lagi memandang perempuan sebagai daging.” (18: 159)

Sekalipun diletakkan pada bab berbeda serta pembahasan yang tak sama lagi, kekonsistenan Asef dalam pembelaannya terhadap perempuan dapat terlihat begitu nyata dengan menghadirkan satu bab yang membahas mengenai Kaum Irat—dalam hal ini bisa saja termasuk salah satu dari kita—yang memuja daging, mengagung-agungkan daging serta memandang perempuan sebagai daging. Tentu saja bukan hanya soal kaum lelaki yang disoroti karena begitu memuja daging, namun kaum perempuan yang kemudian minder dan tidak memiliki kepercayaan diri karena merasa tidak berdaging adalah sebuah contoh betapa perempuan masa kini sebagiannya mendedikasikan dirinya hanya untuk dicintai lelaki. Perempuan yang berusaha mempercantik diri, merawat tubuh agar dapat dicintai lelaki karena sesuatu yang dimilikinya, kemolekan tubuhnya.  


Menggugat Kebun Binatang
“Demikianlah seharusnya manusia memelihara binatang. Membiarkan mereka tanpa kandang dan ikatan.” (15: 139-140)

Pada tahun 2017 seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku sekolah dasar menulis sebuah puisi yang berjudul Di Kebun Binatang. “Di kebun binatang, para hewan menunggu dengan kesepian, bertahan untuk tidak lari, mereka seperti penjahat, terpenjara. Kura-kura berlumut seperti rumput laut tumbuh di tempurungnya, leher panjangnya muncul, kura-kura itu berenang dengan bebas tapi tidak sebebas saat mereka di laut. Aku gembira, tapi para binatang tak seperti perasaanku, gembira. ....” (Abinaya Ghina Jamela)
Asef adalah kerisauan dan kejujuran anak kecil. Sebagai pengunjung berusia remaja dan dewasa, kita justru merasa bangga menyaksikan binatang-binatang tersebut bahkan dengan senang hati merekamnya sebagai kenang-kenangan dan agar dapat dilihat setelah pulang nanti. Kita begitu menikmatinya tanpa pernah coba bertanya, benarkah demikian yang diinginkan para binatang, berada dalam sebuah kurungan, tak diberi kebebasan untuk terbang, untuk berlari, untuk berburu.


Bagaimanapun, Asef adalah manusia biasa yang tak luput dari salah. Selain kitab suci rekaannya masih terdapat beberapa typo, hal yang kemudian menggelitik saya membayangkan kehidupan sehari-harinya di kemudian hari yang tentu saja akan mendapati beberapa ujian. Kalaupun ia harus susah payah melaluinya, setidaknya ia telah berusaha untuk melakukan itu dalam karangannya. Sebab Mario Teguh yang terkenal bijak sejagat Indonesia pun pernah berbuat salah.
Dan bagaimanapun juga;
“Ada yang tumbuh dari setiap tatapan. Ada yang tergetar dari setiap sentuhan. Ada yang tertinggal dalam setiap pelukan.” (4: 169-171)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rasa Sakit Maha Dahsyat

Indo

Begitu Cepat, Begitu Tiba-Tiba