Tetirah oleh Irhyl R Makkatutu

            



“Debar itu selalu saja baru, aku tak pernah bisa percaya—kita menjadi sepasang pakaian yang bisa dikenakan kapan pun, tanpa kenal musim hujan atau kemarau, tanpa ada musim tanam atau musim panen. Aku bisa melebur dalam dirimu dan kamu bisa memenjarakanku dalam pelukanmu—kapan pun itu.”
            Salah satu kutipan dari buku kumpulan cerpen ‘Tetirah; yang berjalan dari dan kepada cinta’ yang pertama kali saya beri stabilo sebagai tanda bahwa makna dari paragraf tersebut sangatlah indah. Saya menemukannya di cerpen pertama yang berjudul Ribang Geliang. Membaca cerpen tersebut di sisi masjid terapung Amirul Mukminin Losari di suatu sore menjelang magrib. Hari itu saya dan Cece memang hendak menghabiskan waktu di luar rumah. Berjalan keliling Makassar bermodalkan google maps sepertinya harus dilakukan sebelum akhirnya meninggalkan kota ini untuk rantau yang lebih jauh. Sejujurnya kami merasa lelah. Namun bayangan tentang bakso bakar di tepi pantai Losari yang pernah kami makan beberapa pekan lalu membuat kami tak gentar walau diserang lelah. Maka sembari menunggu malam tiba, kami beristirahat di masjid terapung sekaligus menikmati indahnya pemandangan sore itu. Tetirah juga ikut serta. Padahal siang itu Tetirah baru saja sampai di tanganku. Diantarkan langsung oleh penulisnya, Irhyl R Makkatutu, penulis produktif asal Bulukumba yang masih jomblo dan telah menerbitkan beberapa antologi cerpen. Tulisan-tulisannya juga sudah pernah dimuat di beberapa media cetak yang ada di Sulawesi.
            Tetirah terbit di tahun 2017 entah bulan berapa, setidaknya saya tidak begitu terlambat membacanya walau tahun 2017 sudah tak lama lagi berakhir. Ditawari langsung oleh penulisnya dan tak membuatku ragu untuk memesan satu karena memang sudah mengenal penulisnya, mengenal tulisan-tulisannya. Dan tentu saja, saat memesan buku ini saya tak ingin merasa rugi. Harus ada tanda tangan penulisnya, kata-kata mutiara dan kalau perlu ada cap jempol dan juga foto ukuran 3x4 yang ditempelkan pada halaman pertama buku tersebut. Hehehe .... ini agak berlebihan.
            Adakah yang bertanya-tanya apa itu Tetirah? Ataukah saya satu-satunya orang yang tidak tahu apa arti dari Tetirah? Tidak sah rasanya membaca buku tersebut tanpa faham makna dari judulnya. Maka sangatlah penting memiliki aplikasi kamus Bahasa Indonesia di ponsel agar bisa kapan pun memeriksa kata yang tidak difahami. Dalam KBBI Tetirah bermakna pergi ke tempat lain dan tinggal sementara waktu (untuk memulihkan kesehatan dsb).
            Mengapa penulis memberi judul bukunya dengan Tetirah? Tetirah diambil dari salah satu judul cerpen yang ada dalam buku tersebut. Kalau kau penasaran, bisa memesan bukunya kepada si penulis. Di sini, saya hanya akan menyajikanmu satu kalimat yang menurutku keren pada cerpen berjudul Tetirah Cinta.
            “Harusnya cinta bisa membuatmu kuat, bukan rapuh. Bagaimana caramu mempertahankan orang yang kau cintai jika kau sendiri rapuh?”
            Itu adalah penggalan kalimat yang disampaikan kepada Sahar oleh ibunya yang ternyata mampu membuat Sahar pulih dan tak lagi mengurung diri di dalam kamar.
            Bagi kalian yang sudah pernah membaca tulisan Irhyl R Makkatutu entah di akun facebooknya atau di koran-koran, kau tentu faham bagaimana cara ia mengakhiri setiap kisah yang dibuatnya. Ia mengakhirinya tanpa sebuah akhir. Ia menggantungnya, ia memberimu kejutan, ia membiarkanmu menyimpulkan sendiri. Dan bagi saya, salah satu yang menarik dari tulisan-tulisan Irhyl R Makkatutu adalah hal tersebut. Hal lain yang selalu memikat dari tulisan-tulisannya adalah kalimat-kalimatnya yang bukan hanya sekadar kalimat. Terkadang saya berfikir, darimana gerangan ia mendapat pengetahuan seperti itu. Namun bukankah penulis memang seharusnya memiliki modal tersebut? Jika hanya sekadar kalimat yang tanpa makna dan tak juga indah, lalu mengapa menulis?
            Cerpen yang paling saya suka di antara 20 cerpen yang ada adalah tulisan yang berjudul Membunuh Ayah. Dalam tulisan tersebut penulis menuangkan idenya dengan kritis melalui tokoh yang dibuatnya. Hal ini dapat dilihat pada halaman pertama cerpen itu. Percakapan antara ayah dan anak untuk tidak memulai tulisan dengan kalimat suatu ketika dan semacamnya. Bagi sang ayah, hal tersebut tidak menarik dan seperti sedang mendongengkan seorang anak. Lalu ia mengambil buku Paulo Coelho yang berjudul Sebelas Menit dan menunjukkan kalimat pertama yang berbunyi Pada zaman dahulu kala.
            Membaca judulnya tentu membuatmu penasaran bagaiamana seorang anak membunuh ayahnya, mengapa sampai ia tega melakukannya? Perlu kalian tahu, membunuh yang dimaksudkannya sama sekali tak sama dengan yang ada dalam pikiranmu. Kurasa berapa macam pun tindakan yang bisa kau anggap sebagai membunuh, kau tak akan sepikiran dengan Irhyl R Makkatutu. Dan disitulah hebatnya dia. Kau tak mampu menebak isi kepalanya, kau tak tahu bagaimana cara ia mengakhiri setiap kisah yang dituliskannya.
            Saya menemukan kesalahan dalam buku ini. Satu di antaranya ada pada cerpen berjudul Warani. Pada awal-awal cerpen penulis menuliskan tentang lima saudaranya yang telah menikah. Namun pada beberapa paragraf setelahnya ia menyebutkan bahwa Warani—kucing pemangsa tikus di rumahnya—merupakan anggota keluarganya yang ke delapan yang mana ayahnya sebagai kepala keluarga. Di paragfraf selanjutnya ia pun menuliskan lagi bahwa ia ada lima orang bersaudara, empat di antaranya sudah menikah.
            Namun itu tentu hanya kesalahan menghitung. Dua di antara beberapa kesalahan dalam buku tersebut adalah ketidakkonsistenan penjelasan pada penggunaan bahasa daerah. Dalam beberapa cerpen, penjelasan dari bahasa daerah yang digunakan akan dituliskan tepat di samping bahasa daerah tersebut, namun pada cerpen berjudul Surat Hujan penulis menjelaskan bahasa daerah yang digunakannya pada catatan kaki. Sebaiknya, menurut saya pribadi, penjelasannya diletakkan tepat di samping bahasa daerah tersebut. Lebih menarik dan tak merepotkan pembaca untuk membolak-balik halaman hanya untuk membaca catatan kaki.
            Sebelum mengakhiri review abal-abal ini, berikut saya cantumkan beberapa kutipan dalam buku Tetirah:
            “Aku ingin ada untukmu sebagai napas yang meminta kepada Tuhan agar lebih lama dalam tubuhmu.”
            “Pilihan tetaplah kamu, jatuh pada peluk. Aku ingin menyerah kepadamu serupa kehidupan menyerah ada kematian.”
            “Tapi, begitulah cara kerja kenangan, bisa mengabadikan dirinya sendiri.”
            “Kini disadarinya, satu-satunya hal yang paling pasti tentang masa depan bukan cinta, tapi kematian.”
            “Akhirnya aku tahu, setiap orang akan menangis, siapa pun dia.”
            “Pernikahan bukan untuk beternak cinta, tapi untuk mengembangkan keturunan dan bukti keberanian bertanggung jawab.”
            “Bukan takut, tidak ada lelaki yang layak takut pada perempuan, sebab perempuan bukan untuk ditakuti, tapi untuk dicintai dan dilindungi.”
            “Kepala boleh rantau, tapi hati tetap kampung halaman.”


            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rasa Sakit Maha Dahsyat

Indo

Begitu Cepat, Begitu Tiba-Tiba