Lelaki yang Membenci Wajahnya
Anwari tak pernah menganggap dirinya memiliki bapak.
Sejak kecil di usia enam bulan, orangtuanya telah bercerai dan ia dibawa
tinggal bersama ibunya lalu tumbuh dengan tanpa kasih sayang seorang bapak. Suatu
malam di usianya yang keenam tahun ia diberitahu ibunya tentang beberapa hal.
“Di dunia ini, Nak, ada
beberapa orang yang bisa hidup tanpa bapak.” Anwari diam saja. Dia masih
terlalu belia untuk memahaminya.
“Di sekolahmu besok, Nak,
jangan percaya bila teman dan gurumu mengatakan bahwa seseorang di desa ini
adalah bapakmu.” Anwari tetap terdiam. Dia memang tidak mengerti apa itu bapak.
Yang dia tahu, di rumah tempat ia tinggal tak ada seorang pun lelaki dewasa.
Namun Anwari sudah terlampau dewasa untuk berpura-pura
bodoh bahwa ia tidak menyadari akan seseorang yang seharusnya dipanggil bapak.
Di usianya yang kini menginjak dua puluh empat tahun, seiring kehidupan yang
dilaluinya tak pernah menyuguhkan keramahan, ia mulai berpikir bahwa Tuhan
menciptakannya untuk menegaskan bahwa manusia sengsara itu benar-benar ada. Dia
tidak tahu harus bagaimana menyikapinya, bersyukur karena ia dipilih langsung,
atau sebaiknya ia menggugat Tuhan.
Satu hal pasti yang diketahui Anwari saat ini bahwasanya
wajah yang mematut di depan cermin itu seharusnya tidak pernah ada. Sekuat
tenaga ia menyangkalnya semakin kuat pula bayangan wajah seorang lelaki
menyambanginya. Lelaki tua yang mirip dengannya, dikonfirmasi atau tidak,
setiap orang bisa menyimpulkan bahwa mereka memiliki hubungan bapak dan anak.
Namun bila kau beranggapan bahwa Anwari membenci wajahnya
karena ia begitu mirip dengan bapaknya yang sejak ia kecil tak pernah dirawat
dan diberikan sepeser pun kasih sayang ataupun materi padahal bapaknya adalah
seorang juragan empang paling sukses di Luwu Timur, maka tentu kau salah.
Biar kujelaskan agar kesalahpahaman ini tidak
berlarut-larut.
Minggu depan, ya minggu depan akan diadakan sebuah pesta
besar-besaran di desa mereka. Seorang lelaki kaya akan menikahi perempuan
cantik dari keluarga sederhana. Tidak tanggung-tanggung pesta tersebut akan
diadakan selama tiga hari tiga malam dengan mengundang kalangan atas hingga
kalangan bawah. Pesta paling meriah akan diadakan di Luwu Timur untuk pertama
kalinya, meski sulit dipungkiri bahwa kali ini adalah pernikahan yang ketiga bagi
lelaki tersebut dan memang merupakan pernikahan pertama bagi calon mempelai
perempuan.
Berita itu tiba di telinga Anwari beberapa jam setelah
acara lamaran di rumah perempuan. Seseorang membisikkannya bahwa peristiwa
hebat akan terjadi dan meminta dirinya bersikap tenang, tidak memberontak untuk
melukai orang lain atau justru melukai dirinya sendiri. Dan barangkali,
kemungkinan terparah yang terjadi adalah Anwari memutuskan mengakhiri hidupnya.
Tuhan, bolehkah aku mengutukmu?
Airmatanya bercucuran, langitnya runtuh
memporak-porandakan perasaannya. Semuanya kacau dan ia tak memiliki pegangan lagi.
Empat tahun lalu saat ibunya meninggal, sempat terbersit di pikiran Anwari
untuk menyusul saja. Rasa-rasanya tidak ada lagi yang istimewa di dunia ini.
Namun kemudian ia terpikir Andini, perempuan yang baru dua bulan dipacarinya
kala itu, ia tiba-tiba merasa memiliki pegangan lagi.
Tapi apalah kini yang dimilikinya? Setelah semua berakhir
dengan tiba-tiba, mengapa harus orang yang begitu dekat dengannya dalam garis
keturunan yang justru harus menyumpalkan racun itu kepadanya? Ia merasa
sekarat.
Apakah karena ia mirip denganku?
Kudengar ia membawakanmu panai’ yang cukup besar, karena
itukah?
Seserius itukah impianmu yang ingin menikah muda?
Anwari hanya bisa menggumam, mempertanyakannya di dalam
hati. Andini tidak pernah benar-benar hilang dari lubuk hatinya, meski memang
perasaannya tak lagi sehebat dulu. Tapi tetap saja, apapun alasannya, Anwari
tidak bisa menerima bila lelaki tua yang wajahnya sangat mirip dengannya,
seminggu lagi akan bersanding dengan perempuan yang baru sebulan lalu putus darinya.
Ini terlalu kejam dan tidak manusiawi. Ia merasa ditikam berkali-kali.
Di dunia ini, Bu, adakah orang yang dibunuh bapaknya
sendiri?
***
“Kapan kau akan
melamarku?” Seorang perempuan seusia dengannya mendesak-desak agar dilamar.
Bukan Anwari tak ingin menikahinya, tapi untuk usia mereka, Anwari merasa belum
siap untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Masih terlalu muda untuk berada
pada satu ikatan pernikahan.
“Kau kan tahu kalau aku
belum ingin menikah dalam waktu dekat ini.” Sedikit ada kekesalan di wajah
Anwari. Seharusnya kekasihnya itu tidak terus-menerus minta dinikahi.
“Kalau begitu aku akan
menikah dengan siapa saja yang duluan datang melamarku.” Begitu kalimat Andini
yang tiba-tiba meluncur dari mulutnya. Bukan sebuah keseriusan namun bentuk
ancaman agar Anwari menyegerakan mewujudkan impian menikah mudanya.
“Kalau begitu maumu,
silakan saja. Aku lepas tangan, hubungan kita berakhir di sini.” Jawaban yang
tak disangka-sangka Andini telah terlontar dari mulut Anwari, begitu spontan
dan tegas juga tidak bisa ditarik kembali. Dan demikianlah bagaimana hubungan
mereka berakhir.
**
Komentar