Faisal Oddang dalam Merawat Falsafah Bugis




Mantan kekasih barangkali dirawat dengan kenangan, tapi falsafah Bugis bukanlah kekasih apalagi mantan yang boleh hanya tinggal kenangan. Merawatnya bukan dalam bentuk ingatan tapi melalui pengaplikasian dalam hidup sehari-hari.       
Falsafah Bugis atau disebut juga paaseng torioolo atau dapat juga dimaknai sebagai pangaaja sebagaimana dituliskan Nurnaningsih (2015), merupakan identitas sekaligus kekayaan masyarakat Bugis pada masa lampau. Kekayaan yang tidak menutup kemungkinan hanya sebatas kenangan bila tidak memeliharanya sebagaimana salah satu usaha yang dilakukan Faisal.

Tiba Sebelum Berangkat
            Falsafah ‘tiba sebelum berangkat’ adalah pesan yang sering didengarkan setiap kali hendak melakukan perjalanan jauh seperti hendak merantau untuk mencari pekerjaan, atau mencari ilmu, atau juga untuk melakukan perjalanan haji. Dalam hal ini siapa pun yang hendak berangkat diperintahkan terlebih dahulu untuk memvisualisasikan dirinya berada di tempat tujuan dan melakukan aktivitas dengan baik. Hal ini dimaksudkan agar memperoleh keselamatan dan  dalam perjalanan tidak terjadi apa-apa.
            Saat falsafah Bugis ini tidak lagi sesering dulu diucapkan oleh orangtua kepada anak cucunya, saat falsafah ini tidak lagi menjadi penting, saat falsafah ini telah menjadi bagian dari kenangan masa lalu, Faisal Oddang berusaha tidak menganggapnya demikian. Dalam konteks ini, Faisal adalah representase dari beberapa generasi 90-an yang merasa kehilangan sekaligus rindu dengan berbagai hal yang pernah didapatkan di masa kanak-kanak.
Inilah alasan sebenarnya mengapa saya sangat menanti-nanti karya Faisal dan bergegas mencari bukunya di hari ketiga setelah terbit. Kerinduan yang besar itu menarik-narik saya pada kenangan masa kecil setiap kali hendak kembali ke pesantren sebab masa liburan telah berakhir. Saya mendapati diri sedang duduk berhadapan dengan kedua orangtua dan mereka mengingatkan agar segera membayangkan diri tiba di tujuan.
Dapat dikatakan bahwa anak-anak Bugis yang lahir tahun 90-anlah yang terakhir mendapatkan betapa filosofisnya tetua Bugis. Generasi selanjutnya tidak lagi seakrab generasi sebelumnya. Mereka terasing dengan identitasnya sendiri sebaliknya akrab dengan identitas lain, identitas kemoderenan. Di zaman yang serba internet ini, tidak lagi sulit mendapati anak-anak Bugis yang lahir dan besar di tanah Bugis namun tidak tahu berbahasa Bugis, apatah lagi membaca aksara lontara’.
            Mengangkat judul Tiba Sebelum Berangkat adalah sebuah kata kunci. Dengan menggunakan falsafah Bugis tersebut Faisal akan dengan mudah dikenali. Bahwa ia seorang Bugis, bahwa ternyata masih ada yang tidak melupakan pappaseng tetuanya. Sebuah penegasan akan identitas diri.       
           

Tellu Cappa’
            Cappa’ lila (ujung lidah) sebagai simbol dari ucapan orang Bugis yang dapat dipegang. Orang Bugis pantang menyalahi janji. Cappa’ laso (ujung kemaulan) sebagai simbol kemampuan berketurunan, serta cappa’ tobo (ujung badik) sebagai simbol bahwa orang Bugis adalah orang yang tidak akan tinggal diam ketika harga dirinya diinjak-injak.
            Faisal menyinggung cappa’ lila di dalam bukunya bukan tanpa tujuan. Dengan melihat bagaimana banyaknya janji-janji yang bertebaran entah dilakukan oleh para calon pejabat pemerintahan, janji dosen untuk bertemu mahasiswanya yang kemudian diingkari, janji kekasih pada pasangannya, ataupun janji pada diri sendiri yang kerapkali tidak ditunaikan. Pergi ke mana falsafah Bugis yang selama ini dijunjung? Apakah zaman benar-benar telah menggerusnya?
             Sebelum benar-benar kehilangan identitas dan mengalami trauma, Faisal dengan caranya sendiri, hendak menyelamatkan dari ancaman krisis identitas tersebut. Tidak main-main usahanya merawat falsafah Bugis agar tetap eksis. Sebuah karya sastra dipersembahkannya. Diharapkan besok hingga kapan pun nanti akan tetap dibaca tidak hanya oleh orang Bugis namun suku-suku yang ada di seluruh Indonesia sehingga Sulawesi secara umum dan Bugis secara khususnya lebih difahami dengan meluas.
            Keberadaan Faisal dengan karyanya merupakan sebuah awal perenungan bagi setiap Bugis untuk kembali mendekatkan diri pada identitas yang hampir ditinggalkannya jauh. Karena memelihara falsafah Bugis agar tetap eksis bukan tugas Faisal semata tapi juga semua Bugis. Entah oleh tetua, para generasi 90-an juga generasi setelahnya dan selanjutnya.
            Faisal yang lain semoga akan terus ada dan senantiasa memelihara identitas Bugis melalui caranya masing-masing. Warisan pesan berupa falsafah selayaknya ilmu yang berharga. Lebih berharga dari harta benda dan kekuasaan. Tapi ternyata menjaga keberadaannya untuk tetap utuh bahkan lebih susah daripada memelihara kekayaan ataupun mempertahankan kekuasaan.
Kemoderenan yang ada secara perlahan mampu melenakan siapa pun untuk ikut terbawa arus. Kemampuan untuk menyesuaikan diri sangat diperlukan dalam kondisi sekarang. Menjadi moderen tidak berarti melupakan identitas yang telah lama dijunjung.
           
Cat: Dimuat di Harian Fajar pada tangga 13 Mei 2018



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rasa Sakit Maha Dahsyat

Patah Hati dan Rindu yang Menggebu

Indo