Tidak Ada Gerimis
Tidak Waras
Adalah Toru Watanabe yang terkenang Naoko, cinta pertamanya, saat
mendengarkan lagu Norwegian Wood. Ia terikat dengan lagu itu, dengan
kenangan-kenangan yang ia lalui bersama seorang gadis di masa remajanya. Terlalu
banyak yang pernah dilaluinya, terlalu indah dan terlalu cepat. Norwegian Wood
adalah lagu kesukaan Naoko yang membuat Watanabe terlempar jauh ke
tahun-tahun sebelumnya. Bukan aroma parfum, bukan jenis makanan, bukan pula
sepenggal puisi yang didapatinya terselip pada buku lama. Bukan.
Apa yang diharapkan perempuan pada seseorang yang
diketahuinya adalah selibat, pastor yang ditahbiskan harus hidup membujang seumur hidupnya. Tapi Laila tetap memupuk
harapan itu. Sepuluh tahun ia pelihara harapan itu dengan terus mengirim surat
kepada Wisanggeni. Laila, entah harus dengan cara apa mengukur kegilaannya
dalam mencintai.
Tapi yang terjadi pada Hasyim adalah hal lain. Tidak seperti
Watanabe yang dituliskan Murakami, tidak juga Laila yang digambarkan Ayu Utami.
Hasyim dewasa ternyata terjebak pada perasaan masa kecilnya. Ayu tetangganya
yang sering dipuji oleh guru kelas, Ayu kawan bermainnya yang manis dan pergi
tanpa pamit. Pada cerita yang disajikan Rosyid dalam bab Menunggu Ayu ini,
ia menyuguhkan kisah cinta sejati yang diawali dengan cinta monyet.
Ketika Chandra (2009) menuliskan bahwa cinta monyet adalah
oposisi biner dari cinta sejati, maka hal ini tidak berlaku pada tokoh Hasyim. Ia
dengan keterbatasan kenangan masa kecilnya justru dibuat tak realistis oleh
cinta. “Tentang aku yang mencintainya sampai sekarang. Tentang aku yang
seperti orang tak waras, .... Aku yang tidak realistis, terlalu utopis dengan
cinta.” (hal. 50). Dia, Hasyim yang di satu peristiwa dikagumi sebagai sosok
yang masuk akal. “Mungkin, karena Sahril mengagumiku sebagai sosok yang
serba masuk akal.”(Hal. 19).
Di saat orang-orang jatuh cinta dan memutus cinta dengan
mudahnya, kasihan sekali Hasyim yang harus disiksa rindu pada perempuan masa
kecilnya. Kenangannya yang tak banyak itu, dengan kekuatan cinta yang entah
sebesar apa, justru melemahkannya. Kasihan sekali Hasyim yang harus menunggu
Ayu tanpa pasti di saat akses menggunakan internet begitu dimudahkan. Karena tak
lagi waras disebab cinta, itulah mengapa ia merasa mustahil menemukan Ayu namun
tetap setia mencintainya. Bukannya tak diwaraskan oleh mencari, ia justru hanya
asyik-asyik menunggu. Ya, Menunggu Ayu.
Tapi siapalah yang lebih konyol daripada Royyan. Sekuat tenaga
ia menahan tak mengungkapkan cintanya pada Hasyim hingga akhirnya ambruk juga. Ternyata
tak kuasa dirinya menahan sakit mencintai dalam diam ketika membaca
tulisan-tulisan Hasyim yang dijutukan kepada perempuan yang bukan dirinya. Royyan
konyol karena pada akhirnya merelakan Hasyim untuk Ayu. Tidak sampai terjangkau
oleh pikiranku bagaimana perasaan yang
begitu besar bisa berubah secara tiba-tiba. Perubahan yang disertai bantuan
untuk mencari keberadaan Ayu. Manusia mana yang selabil itu?
Rosyid dalam tulisannya berusaha menyajikan cerita cinta
yang sederhana dengan kisah akhir yang bahagia. Namun dalam kesederhanaannya
itu ia terjebak pada alur yang mudah ditebak. Seperti kisah-kisah pada Film Televisi
(FTV) yang bisa diloncati bagian-bagiannya yang membosankan, demikianah Gerimis
di Atas Kertas milik Rosyid ini. Pada beberapa bagian, teknik membaca skimming
saya praktikkan dan tetap bisa menebak alurnya dengan mudah.
Dunia Aku
“Tak kubiarkan mereka menelan mentah-mentah berbagai
doktrin organisasi. Tak kubiarkan mereka menjadi bidak-bidak organisasi secara
praktis. Aku ingin mereka menjadi bidak bagi nilai-nilai organisasi secara utuh
dan kritis, bukan bidak atas keputusan-keputusan organisasi yang kadang
bersifat politis, penuh kepentingan, dan tak jarang membelakangi nalar
kemanusiaan.” (Hal. 23).
“Ada perasaan senang ketika mereka ingat aku pandai
menyusun kata-kata indah. Perasaan senang sekaligus sedih, karena aku pun masih
meragukannya sampai detik ini. Sewaktu kuliah, aku terbiasa menulis jurnal,
menggunakan kata-kata baku yang penuh dengan analisis teoretis, dengan mengutip
berbagai referensi ....” (Hal. 93).
Pada kutipan di atas saya merasakan sebuah argumen yang
terlalu percaya diri. Kalimat yang disusun itu seperti menunjukkan sebuah kesombongan
tokohnya dan juga penulis cerita. Dalam kondisi tersebut, saya teringat dengan
ucapan Mahfud Ikhwan pada sebuah diskusi yang menghindari menuliskan cerita
dengan sudut pandang orang pertama. Ia takut terjebak pada dunia ‘aku’,
demikianlah alasannya.
Tapi Rosyid bukan Mahfud yang harus dituntut untuk
menulis dengan sudut pandang orang ketiga. Rosyid hanya perlu lebih
berhati-hati saat menggunakan sudut pandang orang pertama, karena terlalui
menjiwai ‘aku’ sehingga lahirlah kalimat-kalimat yang sejenis kutipan di atas. Sebuah
pernyataan yang cenderung tampak seperti mengagung-agungkan diri sendiri.
Dan hingga buku ini selesai dibaca, semuanya akan
baik-baik saja. Tokoh-tokohnya yang hidup bahagia, kecuali kamu yang tidak suka
cerita happy ending. Juga aku.
Judul : Gerimis di Atas Kertas
Penulis :A.S. Rosyid
Penerbit : Basabasi
Cetakan : September 2017
Tebal : 200 hlm
ISBN : 978-602-6651-30-3
Komentar