Kota yang Mengenal Doa



“Setiap fajar adalah sebait puisi di tubuh bayi. Tangisannya tetap rendah hati dan wangi.” (Hal. 26)
Kemarin baru saja berkunjung ke Pare-Kediri  setelah tujuh tahun tak pernah ke sana. Ada banyak rindu yang akhirnya bisa kuperbaharui. Perjalanan kali ini saya membawa buku karya Puthut EA yang berjudul Sebuah Kitab yang Tak Suci sebagai teman di atas kereta dalam menempuh kurang lebih 5 jam perjalanan Jogja-Kediri, Kediri-Jogja. Alasan memilih buku ini di antara enam buku lain yang belum saya baca adalah, buku ini lebih tipis sehingga saya bisa menghabiskannya dengan segera. Sebab membayangkan dua hari berada di Pare akan begitu padat dan sibuk menemui banyak rindu, tentu saja saya tidak punya banyak waktu untuk membaca buku. Keyakinanku saat itu bisa menyelesaikan karya Puthut ini di kereta menuju pulang. Sayang sekali meleset. Meski tipis, tak sampai seratus halaman, nyatanya saya tidak bisa menamatkannya. Buku kumpulan cerita pendek ini ternyata bacaan yang berat. Bila membaca testimoni di belakang bukunya saya kemudian mengerti bahwa buku ini  bukan sembarang buku. Buku yang dipuji oleh berbagai kalangan sebagai puncak estetika dan kepenulisan dari seorang Puthut. Kau tentu faham maksdunya, kan? Bahwa butuh konsentrasi tinggi untuk bisa mengerti tulisan-tulisan di dalamnya. Buku yang memiliki nilai sastra yang tinggi, filosofis dan demikian puitis.

“Tak ada kematian yang begitu memalukan, selain ditikam kamar mandi dan beranda rumah sendiri.” (Hal. 45)
Terdapat sepuluh cerita pendek di dalamnya dan saya mengakuinya dengan jujur bahwa hanya tiga cerita yang tidak begitu berat untuk saya fahami. Ada Kota yang Menuju Diam, Si Pemungut Mimpi dan juga Seseorang di Sebuah Sudut sebagai cerita penutup yang begitu mengesankan. Berkisah tentang seorang lelaki yang selalu duduk di sebuah sudut pada sebuah cafe, memesan kopi, menyeruputnya sekali, membaca koran dari belakang lalu kemudian meninggalkan cafe tersebut beserta koran dan uang kembalian yangt tidak pernah diambilnya. Lelaki yang merupakan pusat dari segala perubahan yang terjadi pada kota tersebut. Kota yang bertahun-tahun telah kehilangan perasaan. Kebahagiaan dan kesedihan bahkan anak-anak lahir dari ranjang-ranjang yang tidak berderit. Hingga kepergiannya kemudian menjadi sebuah kehilangan begitu besar. Meski demikian, kejadian itu mengubah segalanya. Kota itu kembali hidup, mempunyai perasaan, ranjang kembali berderit, burung yang mulai bercicit, tiupan angin yang semakin bertenaga. Kota itu mewujud kecemasan dan juga doa pada seorang lelaki di sebuah sudut, semoga ia selalu dalam keadaan baik. kesimpulannya adalah, kota itu kini mengenal kata berdoa.
“Lebih penting bermimpi dan mewujudkan mimpi dari pada mengganti tetua kampung.” (Hal. 54)

Kutipan di atas saya ambil dari cerita yang berjudul Si Pemungut Mimpi. Tentang seorang yang kembali setelah kepergian yang begitu lama. Mengubah pandangan masyarakat kampung agar lebih berani bermimpi tanpa harus membedakan lelaki atau perempuan. Konsepnya seperti sebuah kisah inspiratif dari seorang yang sukses dalam mimpinya dan ingin melakukan hal yang sama pada orang-orang berikutnya. Tentu saja, kisah ini dikemas begitu filosofis dan menakjubkan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rasa Sakit Maha Dahsyat

Tetirah oleh Irhyl R Makkatutu

Indo