Disiksa Rasa [1]

Gambar hanya tambahan


Sore itu aku berniat mengajak Zaky ke Pantai Losari. Aku membayangkan senja yang indah jelang magrib sambil menikmati bakso bakar berdua saja. Semua sudah kurencanakan matang-matang dan bermaksud mengatakannya pada Zaky. Meski hubungan kami tak bisa dianggap sebagai sepasang kekasih, namun hatiku memang selalu bergetar hebat setiap kali bersamanya. Hanya saja semua yang kurencanakan tidak berjalan semestinya. Jadwal penerbangan Zaky ke luar kota ternyata dipercepat. Kecewa yang kurasakan menjadi berkali-kali lipat. Terlebih Zaky yang menolak kuantarkan ke bandara semakin melukai perasaanku. Aku menebak-nebak bahwa dia memang tidak menganggapku istimewa.
Kepergiannya ke luar kota memang tak begitu lama. Seminggu saja namun sudah merenggut Zaky dariku seutuhnya. Di perjalanannya yang singkat itu ia bertemu seorang perempuan. Biasa saja menurutku, bukan karena rasa cemburu yang membara di dadaku, namun dari segi penampilan, perawakanku masih lebih unggul darinya. Zaky memperkenalkan perempuan itu padaku, namanya Irna. Awal perjumpaan kami berjalan lancar. Setidaknya aku tidak menciptakan kegaduhan seiring perasaanku yang semakin tidak karuan. Aku terancam kehilangan sesuatu yang belum kumiliki. Atau aku kini memang sudah kehilangan?
Hari-hariku berjalan penuh kekhawatiran, sekuat tenaga menepis segala prasangka dan sebisa mungkin berpikir positif terhadap semuanya. Meski aku sendiri meyakini bahwa ada maksud lain mengapa Zaky memperkenalkanku pada Irna. Terlebih sikap Zaky yang tak lagi seperhatian dulu. Kecurigaanku pasti benar bahwa kini ia telah sibuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan Irna. Aku berusaha menyadarkan diri bahwa Zaky tak pernah menyatakan perasaannya padaku dan itu berarti aku tak berhak kecewa terhadap keputusannya yang memilih perempuan lain. Namun aku juga tak bisa melupakan bagaimana selama ini Zaky bersikap seolah kekasihku. Pesan-pesannya yang terbilang mesra untuk ukuran teman biasa, perhatiannya yang berlebih dan tidak pernah diberikan kepada orang lain selain diriku sebelum Irna kemudian hadir di kehidupannya adalah alasan kuat mengapa perasaaku padanya semakin sulit kubendung.
Aku masih menyimpan hadiah ulang tahun yang diberikannya padaku hampir setahun lalu. Sebuah novel yang sudah lama kurengekkan padanya  jauh sebelum hari ulang tahunku dan ia akhirnya mengabulkannya beberapa hari kemudian. Ia mengajakku ke toko buku, membiarkanku memilih buku yang kuinginkan.  Kusodorkan buku itu padanya, memperlihatkan harganya yang lumayan mahal. Ia tersenyum, kaget, lalu menganggukkan kepala. Tak terucapkan betapa bahagianya aku kala itu. Merasa seperti anak kecil yang melihat penjual es lilin lewat di depan rumah dan ayahnya begitu baik memenuhi keinginannya yang sederhana itu. Tapi perasaanku tak lagi sederhana. Ada harapan yang kusertakan di hari-hari berikutnya. Hari setelah ia menyodorkan novel impianku disertai ucapan ulang tahunnya padaku yang begitu tulus. Novel itu kupeluk disertai keinginan untuk selalu merasakan hangat peluknya melalui benda yang dihadiahkan.

Kau bisa membayangkan betapa lukanya hatiku hari ini mengingat kenangan itu. Rasanya baru saja aku merasa begitu bahagia bersama harapan-harapanku padanya dan kini ia terlihat lebih berpihak pada orang lain. Hatinya terasa menjauh dariku dan lebih condong pada perempuan yang baru saja dikenalnya. Semudah itukah memupuskan harapan yang sepenuh hati kupupuk setiap harinya?   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rasa Sakit Maha Dahsyat

Indo

Tetirah oleh Irhyl R Makkatutu