Sastra Hijau dari Riau
Judul : Luka Perempuan Asap; Air Mata di
Antara Pohon Sawit
Penulis :
Nafi’ah al-Ma’rab
Penerbit :
Tinta Medina
Cetakan :
Pertama, 2017
Tebal :
264 Halaman
ISBN :
978-602-0894-84-3
Mengawali dengan ending novel ini, aku tidak
terlalu merasa terkesan. Bahkan tidak terkesan sama sekali. Akhir kisah yang
sudah gampang tertebak jauh sebelum mengakhiri membaca keseluruhan ceritanya. Akhir
kisah yang biasa-biasa saja dan cenderung sama dengan beberapa kisah pada
umumnya. Padahal pada pertengahan buku aku sudah menaruh harap yang begitu
tinggi bisa mendapatkan akhir kisah yang menarik atau sebaiknya tidak usah
diberi akhir, jadi cukup digantung saja. Atau penilaianku ini cenderung
subjektif hanya karena aku memang lebih suka kisah, baik cerita pendek maupun cerita
panjang pada novel diakhiri dalam bentuk
hanging ending. Aku lebih suka diberi keleluasaan untuk memberikan
kesimpulan sendiri. Tapi baiklah, sepertinya tidak usah berlama-lama
membicarakan kecenderungan bacaanku.
Kembali membahas buku ini, sebuah karya yang disebut
bergenre sastra hijau oleh Bambang Kariyawan yang memang merupakan seorang
pegiat sastra hijau. Aku menemukan hal baru tentang lingkungan juga tentang
perempuan itu sendiri. meski dalam buku ini mengabaikan pemeran perempuan yang
seharusnya bisa dimasukkan untuk turut andil, seperti membahas sedikit saja
mengenai ibu dari Mun—tokoh utama perempuan—dan juga ibu dari Marjo. Namun dalam
buku ini, peran ibu dihilangkan dan tidak pernah disinggung sama sekali. Walaupun
pada keseluruhan cerita, satu perempuan yang mendominasi itu adalah Mun. Bagiku,
Mun cukup mampu menarik perhatian sebagai tokoh utama. Dia yang diilustrasikan
sebagai serang muslimah atau akhwat nyatanya tidak sekolot itu dibanding
beberapa orang yang pernah kutemui di dunia nyata. Mun masih sedikit terbuka
bila diajak berdiskusi dan tidak begitu mudah dalam menghakimi. Mun juga sosok
perempuan cerdas yang meski dikisahkan sebagai seorang muslimah, toh dia tetap
pernah melakukan kesalahan. Satu nilai plus untuk buku ini yang mematahkan
pendapatku di awal-awal membacanya. Aku menyangka tokoh Mun akan berperan
seperti tokoh-tokoh muslimah yang terdapat dalam novel ‘religi’ lainnya yang
menampilkan sosok tak pernah berdosa dan selalu benar. Mun dalam novel ini sama
sekali tidak demikian. Bahkan ketika beberapa pesan hendak disampaikan, novel
ini tidak menggunakan tokoh pertama yaitu Mun, namun menggunakan sudut pandang ketiga. Sebuah
trik agar tidak terkesan menceramahi. Walaupun aku masih sangat merasakan
bagaimana novel ini pada beberapa bagian terasa bermaksud menceramahi.
Buku ini berkisah tentang perkebunan sawit di Riau. Pembakaran
lahan oleh beberapa oknum yang kemudian menyebabkan kabut asap di berbagai
tempat. Kepentingan segelintir orang kemudian merugikan begitu banyak penduduk
setempat yang tidak tahu apa-apa. Dalam kisah ini, aku menemukan beberapa fakta
baru. Tentang bagaimana selama ini kita masih sering diadu domba oleh
orang-orang luar. Kisah ini barangkali sebuah fiksi yang berangkat dari
beberapa kisah nyata, konflik yang ditawarkan di dalamnya nyatanya banyak
benarnya dan itu membuatku merasa tidak menyesal telah membeli dan membaca buku
ini. Walau jujur saja, pada awal-awal tulisan aku merasa jemu dan tidak
tertarik untuk melanjutkannya. Tapi karena rasa penasaran ternyata lebih besar,
aku meneruskan membaca dan mendapatkan beberapa pengetahuan baru. Betapa aku
akan menyesal jika memilih berhenti membacanya di awal bab hanya karena
mendapati buku ini hampir serupa dengan buku-buku lain yang cenderung apologi.
Komentar